Belanda melakukan penjelajahan samudera dilatar belakangi oleh keinginan mendapatkan sumber rempah-rempah yang murah dan banyak karena pusat perdagangan di Lisabon sangatlah dibatasi. Ketika sampai di Nusantara Belanda mengalami banyak hambatan antara lain sebagai berikut.
Perlawanan Mataram
Sebenarnya sudah sejak 1614 VOC yang masih bermarkas di Ambon mengajak bekerja sama dengan Kesultanan Mataram dengan mengirimkan utusan untuk mengajak Sultan Agung tetapi ditolak oleh sultan. Selanjutnya VOC mencoba mengajak bekerja sama kembali pada 1618 ketika VOC melihat Mataram mengalami kegagalan panen akibat perang melawan Surabaya, namun usaha tersebut ditolak lagi oleh sultan. Barulah Mataram menjalin kerja sama dengan VOC pada 1621 untuk memanfaatkan VOC dalam menghadapi persaingan menghadapi Surabaya dan Banten. Selanjutnya Belanda diizinkan dalam membangun benteng di Jepara untuk digunakan sebagai kantor dagang, selain itu Belanda juga memberikan hadiah kepada Mataram yang berupa dua buah meriam terbaiknya. Seiring berjalannya waktu terjadi perselisihan antara Mataram dengan Belanda, Gubernur Jendral VOC J. P. Coen memerintahkan Van Der Marct untuk menyerang Jepara. Tak tinggal diam Mataram pun melalui Sultan Agung mempersiapkan serangan terhadap Belanda di Batavia. Serangan pertama dilaksanakan pada 1628 dengan dipimpin oleh Tumenggung Baurekso yang sampai di Batavia pada 22 Agustus 1628 namun serangan pertama ini gagal. Selanjutnya disusul dengan serangan kedua oleh pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang dibantu oleh dua orang bersaudara yaitu Kiai Upa Santa dengan Kiai Dipati Mandurojo, namun serangan kedua ini pun juga menemui kegagalan. Tak kurang dari 1000 prajurit Mataram gugur dalam pertempuran. Kekalahan melawan Belanda disebabkan oleh lumbung padi yang menjadi persediaan makanan dihancurkan oleh Belanda. Selain Sultan Agung, perlawanan terhadap VOC juga dilakukan oleh Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.Perlawanan Makassar
Perlawanan terhadap VOC di Makassar dilakukan oleh Kerajaan Gowa dan Tallo yang dimana kedua kerajaan tersebut bergabung menjadi Kerajaan Makassar. Dilihat dari segi geografis, letak Kerajaan Makassar sangatlah strategis dalam pusat pelabuhan perdagangan di wilayah Nusantara bagian timur. Kerajaan Makassar memiliki banyak sekali pelaut-pelaut yang ulung, dan kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin pada 1654 sampai dengan 1669. Memasukki abad ke-17 Kerajaan Makassar dianggap menjadi pesaing bagi VOC dalam pelayaran dan perdagangan khususnya di wilayah Nusantara bagian timur. Merasa semakin sulit karena persaingan yang ada VOC berinisiatif untuk pura-pura mengadakan hubungan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini diterima dengan baik oleh Raja Gowa dan VOC diizinkan untuk berdagang dengan bebas. Seiring berjalannya waktu VOC mulai menunjukkan tujuan sebenarnya dengan mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin.Namun tuntutan VOC tersebut ditentang oleh Sultan Hasanuddin sehingga terjadilah perlawanan dan pertempuran yang terjadi pada 1633 dan 1654. Kedua perlawanan tersebut disebabkan usaha VOC yang ingin menghalang-halangi pedagang yang masuk dan keluar dari Pelabuhan Makassar. Kedua perlawanan tersebut membuat usaha VOC masih menemui kegagalan karena sengitnya perlawanan yang ditunjukkan oleh Makassar.
Pertempuran selanjutnya dilakukan pada 1666-1667 yang menjadi perang ketiga bagi VOC melawan Makassar sekaligus menjadi perang yang besar. Dengan strategi VOC yang mengajak pasukan Raja Bone yaitu Aru Palaka dan Pasukan Kapten Yonker dari Ambon untuk menyerang Makassar. Pasukan VOC yang dipimpin oleh Speelman menyerang Pelabuhan Makassar melalui jalur laut, sementara itu pasukan Aru Palaka mendarat di Bonthain dan sukses untuk mengajak suku Bugis melakukan pemberontakan kepada Sultan Hasanuddin. Sehingga Sultan Hasanuddin terdesak dan harus menandatangani perjanjian perdamaian Bongaya di desa Bongaya pada 1667. Kegagalan Sultan Hasanuddin disebabkan oleh keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanuddin dengan Aru Palaka.
Perlawanan Banten
Perlawanan Banten terjadi disebabkan oleh peristiwa dirampasnya kapal milik Banten yang baru saja pulang dari Jawa Timur oleh kapal-kapal Belanda. Hal ini sontak menimbulkan amarah yang besar bagi Sultan Ageng Tirtayasa yang selanjutnya menyatakan perang terhadap Belanda. Namun hal ini ditentang oleh anaknya sendiri yaitu Sultan Haji. Bahkan Sultan Haji menurunkan ayahnya dari jabatannya pada 1 Maret 1680 dengan bantuan Belanda dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Banten.Hal itu sontak menimbulkan reaksi besar dari para tokoh bangsawan Bangsawan di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan tokoh ulama serta rakyat di bawah pimpinan Syeikh Yusuf. Dengan demikian rakyat Banten tidak mengakui pemerintahan oleh Sultan Haji, dan sebaliknya rakyat Banten menunjukkan kesetiaannya terhadap Sultan Ageng Tirtayasa dengan bersedia melaksanakan perang menghadapi Sultan Haji dan Belanda.
Sultan Ageng di bawah pimpinannya langsung, bersama anaknya Pangeran Purbaya dan menantunya Syeikh Yusuf pada pagi-pagi buta tanggal 7 April 1680 melancarkan serangan yang mematikan terhadap Sultan Haji dan Belanda. Namun karena kekuatan senjata yang tidak berimbang maka pasukan Sultan Ageng harus mengalami kekalahan dan menyerah pada Maret 1683.
Perlawanan Patimura Di Maluku
Setelah Inggris berkuasa di Nusantara, kekuasaan tersebut diambil alih oleh Belanda pada 1817. Perkembangan tersebut membuat rakyat maluku merasakan kesengsaraan akibat kebijakan Belanda sangatlah berbeda dengan Inggris seperti rakyat dipaksa untuk menyerahkan hasil bumi seperti rempah-rempah dan kopi dengan bayaran yang sangat kecil bahkan tidak dibayar. Hal tersebut membuat rakyat maluku melakukan perlawanan pada 1817 yang dipimpin oleh Thomas Matulessy atau yang biasa dikenal dengan Patimura yang lahir pada 1783 di Haria tepatnya di Pulau Saparua, Maluku. Saat pemerintahan Inggris, Patimura masuk dalam kedinasan militer yang berpangkat sersan.Sehari sebelumnya terjadi pertemuan-pertemuan di Pulau Saparua yang pertama di Hutan Kayuputih untuk membahas penyerbuan ke benteng Duurstede, mereka juga membahas tentang pemilihan pemimpin perangnya pada 14 Mei 1817 yang akhirnya terpilih Thomas Matulessy dan mendapat julukan pimpinan perang Patimura. Dalam pembahasan para penguasa dan pemuda memutuskan untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial di benteng Duurstede yang terletak di pulau Saparua.
Di bawah pimpinan Patimura pada malam hari tanggal 15 Mei 1817 para pemuda Saparua melancarkan serangan terhadap Belanda dengan membakar perahu-perahu pos di pelabuhan dan mengepung benteng Duurstede. Selanjutnya pada 16 Mei 1817 Patimura dan pemuda Saparua berhasil mengepung benteng tersebut. Setelah itu, Patimura dan pemuda Saparua juga berhasil menguasai benteng Deverdijk dan membunuh Residen Van Der Berg beserta keluarganya. Mendengar kabar tersebut Belanda mendatangkan bantuan besar-besaran dari Batavia pada bulan Juli yang dipimpin oleh Laksamana Muda Buykes.
Setelah itu serangan dilancarkan oleh Belanda yang membuat Patimura terdesak yang membuatnya harus menyingkir ke hutan dan melakukan perang gerilya pada Agustus 1817. Selain itu Belanda juga dapat mengambil alih kembali benteng Deverdijk pada 18 November 1817. Belanda juga berhasil menghukum mati kapitan Paulus Tiahahu. Seiring berjalannya waktu perlawanan dilanjutkan oleh Cristina Martha Tiahahu yang masih berumur 17 tahun dengan pergi ke hutan untuk melawan Belanda. Namun pada November 1817 usaha Patimura semakin terdesak dan akhirnya tertangkap dan dihukum gantung di alun-alun Ambon depan benteng Victoria pada 16 Desember 1817.
Perang Padri
Perang Padri merupakan perang yang terjadi di Sumatera Barat disebabkan pertentangan antara tokoh ulama atau disebut Kaum Padri dengan Kaum Adat. Sekelompok tokoh ulama menentang kebiasaan buruk seperti sabung ayam, tembakau, minuman keras, hukum yang tidak sesuai syariat Islam dan madat yang dilakukan oleh kaum adat. Karena Kaum Adat yang tidak mau untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut walaupun sudah memeluk Islam, maka menimbulkan kemarahan Kaum Padri yang menimbulkan peperangan pada tahun 1803 sampai dengan 1833 yang kemudian disebut dengan perang saudara. Peperangan tersebut terjadi dengan Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan dan Kaum Adat dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah.Kaum Adat yang merasa tertekan dalam peperangan mulai mengambil tindakan dengan meminta bantuan kepada Belanda pada 1821. Pada 1833 Kaum Adat bergabung dengan kaum Padri, dan bersamaan dengan itu di Jawa juga berkobar Perang Diponegoro pada 1835 sehingga pasukan Belanda di Sumatera Barat harus dikurangi untuk dikerahkan di Jawa, Belanda pada saat itu melancarkan taktik perdamaian dengan Kaum Padri pada 1825. Namun kenyataan yang terjadi pasukan Belanda masih melakukan tekanan-tekanan terhadap rakyat setempat, sehingga menimbulkan perlawanan kembali dari Kaum Padri yang diikuti oleh rakyat setempat. Perlawanan tersebut semakin mudah menyebar ke berbagai tempat. Tuanku Imam Bonjol didukung oleh Tuanku Nan Gapuk, Tuanku Hitam, dan Tuanku Nan Cerdik, sehingga pada 1826 intensitas pertempuran semakin memanas. Bahkan salah satu markas Kaum Padri di Tanjung Alam mengalami serangan oleh pasukan Belanda pada 1833.
Akibat markasnya yang diserang, pasukan Kaum Padri mulai melemah dengan ditandai beberapa pemimpinnya menyerah seperi Tuanku Nan Cerdik. Sejak itu perlawanan Kaum Padri terhadap Belanda dilanjutkan dengan dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Agar Perang Padri segera selesai Gubernur Jendral Van Den Bosch menengok langsung ke medan pertempuran, ia mengeluarkan beberapa pernyataan dimana mereka yang memihak Belanda akan diberikan hak-hak istimewa. Selain itu Belanda juga mengajak perundingan dengan Imam Bonjol, namun dibalik ajakan rundingan tersebut Belanda ingin mengetahui kekuatan terakhir dari pihak Kaum Padri yang ada di Benteng Bonjol dan berharap agar Imam Bonjol menyerahkan diri.
Tetapi perundingan tersebut gagal, namun Belanda sudah mempersiapkan dengan mengepung benteng, alhasil Benteng Bonjol jatuh di tangan Belanda. Akhirnya Imam Bonjol dan pasukannya tertangkap pada 25 Oktober 1837 dibuang di Cuanjur lalu dipindahkan di Ambon dan selanjutnya dibuang di Minahasa.
Perang Diponegoro
Babad Diponegoro yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro pada waktu di Penjara Manado mengisahkan bahwa sejak kecil ia mengabdi untuk agama Islam, ia hidup bersama neneknya di Tegalrejo untuk menghidari dari pengaruh kehidupan Keraton Yogyakarta. Dalam perangnya Diponegoro senantiasa selalu menegakkan ajaran dan syariat Islam di daerah kekuasaannya. Kiai Mojo atau yang sering disebut Mojo Solo dipilih oleh Diponegoro untuk dijadikan sebagai penasehat keagamaannya.Diponegoro sebagai putera dari Sultan Hamengkubuwono III memiliki pengaruh yang besar, bahkan Belanda menyesal memiliih beliau menjadi wali Sultan Hamengkubuwono V yang dianggap Belanda sebagai ancaman bagi kekuasaan Belanda sehingga pemerintahan diberikan kepada Patih Danurejo dan di bawah kekuasaan residen. Kebijakan lain yang dianggap melecehkan Diponegoro seperti mengambil keputusan tanpa dirundingkan terlebih dahulu. Hal tersebut terjadi seperti dalam pengangkatan penghulu itu sebagai hak sultan, namun waktu penghulu Rachmanudin berhenti karena memiliki pendapat yang berbeda dengan patih, dengan itu residen dan patih mengangkat pengganti tanpa persetujuan terlebih dahulu oleh wali. Diponegoro menentang hal tersebut dan menganggap pengangkatan tersebut tidak sah. Pelecehan lainnya juga terjadi seperti dalam pesta, Diponegoro diperlakukan tidak pantas oleh pegawai Belanda, yang membuat Diponegoro meninggalkan pesta dan mengasingkan dirinya ke Tegalrejo.
Seiring berjalannya waktu patih bersama residen memerintahkan untuk menyambung jalan dari kota menuju Tegalrejo yang dikenal dengan jalan Notoyudan yang akan melewati tempat yang dianggap keramat oleh Diponegoro karena merupakan makam para leluhur Diponegoro, maka Diponegoro menentang kebijakan tersebut. Penentangan Diponegoro tersebut menyebabkan pasukan Belanda menyerang daerah Tegalrejo sehingga terjadi perlawanan Diponegoro pada 25 Juli 1825, setelah pertempuran Diponegoro harus mengungsi ke Gua Selarong guna mengatur siasat perang dan keluarga Diponegoro diungsikan ke Dekso. Kabar mengenai adanya perlawanan Diponegoro terhadap Belanda cepat menyebar ke berbagai daerah, para petani yang menderita, tokoh ulama, dan bangsawan yang kecewa terhadap Belanda segera datang dan ikut Diponegoro dalam perlawanan terhadap Belanda.
Semakin kuatnya pasukan Diponegoro, membuat Belanda mengajukan perdamaian namun selalu ditolak. Diponegoro dianggap membahayakan kedudukan Belanda di Nusantara oleh sebab itu Belanda menggunakan segala cara dan siasat dalam menghentikan Diponegoro. Menginjak tahun 1829 sudah kurang lebih 200 ribu pasukan Diponegoro gugur dalam pertempuran. Diponegoro semakin terdesak dan terpaksa melakukan perundingan dengan Belanda. Pemerintahan Belanda memerintahkan De Kock untuk menghentikan perlawanan agar memudahkan dalam melapangkan jalan yang digunakan untuk Culturstelsel. Perang tersebut mengakibatkan 15.000 tentara, terdiri 8 ribu orang Eropa dan 7 ribu orang serdadu pribumi. Selain itu perkebunan swasta asing hancur, sehingga kemakmuran rakyat lenyap.
Perang Aceh
Perang Aceh terjadi akibat pelanggaran Traktat London yang sudah ditandatangani pada 1824 oleh Belanda. Isi dalam Traktat London sebagaimana berikut ini Belanda menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan Aceh. Namun, Kesultanan Aceh sudah tidak lagi diakui pada 1863 dikarenakan Sultan Deli menerima perjanjian Belanda dengan diperbolehkan untuk membuka perkebunan tembakau besar-besaran di Deli. Dengan adanya pembukaan terusan Suez yang membuat posisi Aceh semakin strategis, keuntungan yang besar, dan ketamakan Belanda dan Inggris membuat Aceh menjadi waspada. Pada akhir November 1871 lahir Traktat Sumatera dimana Inggris wajib melepaskan diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di wilayah manapun di Sumatera. Sehingga pembatasan Traktat London 1824 tentang Aceh dibatalkan.Sebenarnya Aceh pada 1872 sudah mendapatkan peringatan dari Multatuli tentang Belanda terus menghimpun pasukan untuk menyerang Aceh, namun dihiraukan oleh Sultan Aceh. Gubernur Jenderal London memiliki keinginan untuk segera pada tanggal 18 Februari 1873 mengirimkan Jan Nieuwenhuyzen bersama kapal perang ke Aceh.
Serangan pertama Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Kohler dengan 3193 prajurit menembaki daerah pantai, pasukan Aceh mundur dan berkubu di Masjid Raya. Pasukan Belanda langsung menyerang Masjid Raya dengan menembaki meriam sehingga Masjid Raya terbakar, pasukan Aceh pun mundur, Belanda berhasil menguasai masjid tersebut. Namun Jendral Kohler berhasil ditembak mati oleh pasukan Aceh sehingga digantikan posisinya oleh Van Dalen, dan menarik diri dari Masjid Raya. Pasukan Aceh melakukan konsolidasi di Istana Sultan Mahmudsyah. Pasukan-pasukan Aceh terus digerakkan untuk menyerang pos-pos Belanda. Dengan demikian usaha serangan Belanda gagal. Sehingga Belanda memilih untuk melakukan blokade terhadap Aceh. Seiring berjalannya waktu muncul tokoh-tokoh yang memimpin perlawanan di daerahnya masing-masing seperti Cut Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Imam Lueng Bata, Panglima Polem, Teuku Umar, dan Cut Nyak Din.
Belanda menggunakan strategi memisahkan daerah Aceh utara dari Aceh selatan untuk memadamkan perlawanan rakyat Aceh. Belanda juga menjaga pantai laut oleh angkatan laut besenjata Belanda. Siasat yang digunakan Belanda disebut konsentrasistelsel dimana daerah yang dikuasai oleh Belanda dibuat makmur supaya rakyat Aceh yang melawan Belanda menyerahkan senjata dan kembali ke daerah yang makmur. Namun siasat tersebut gagal, dikarenakan banyak kawat berduri sebagai pembatas dirusak oleh kaum gerilya dan membunuh penjaganya.
Selain itu Teuku Umar yang sudah menyerah kepada Belanda pada 1893, melakukan perlawanan kembali pada 1896 terhadap Belanda setelah sukses dalam mengambil banyak senjata Belanda. Kondisi ini semakin mempersulit Belanda, kemudian muncul Dr. Snouk Hurgronye yang sebagai ahli bahasa Timur dan hukum Islam. Dr. Snouk Hurgronye melakukan penelitian bahwa sebenarnya Sultan Aceh tidak mempunyai kekuatan apapun tanpa persetujuan dari kepala-kepala yang ada di bawahnya. Selain itu juga terdapat pengaruh kaum ulama yang cukuup kuat, karena itulah sulit untuk menundukkan rakyat yang berkeyakinan agama kuat.
Seiring berjalannya waktu banyak dari pemimpin-pemimpin tangguh Aceh yang hilang, membuat perlawanan Aceh semakin memudar, dilain hal pihak Belanda semakin memperkuat kekuasaannya di Aceh. Perlawanan Aceh dapat dikatakan sebagai perlawanan yang paling besar dan lama selama abad ke-19.
Perang Banjar
Perang Banjar merupakan pertempuran antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah kolonial Belanda terjadi pada 1859 sampai dengan 1905. Perlawanan Banjar disebabkan oleh sebagai berikut ini.1. Belanda memperluas wilayah kekuasaan dengan cara yang merugikan bagi Kesultanan Banjar,
2. Belanda melakukan monopoli perdagangan sumber daya alam Kesultanan Banjar,
3. Belanda ikut campur masalah internal kesultanan,
4. Belanda menerapkan kerja Rodi terhadap rakyat Banjar.
Perang Banjar terjadi cukup lama hingga berangsur-angsur lamanya hingga berganti-gantinya kepemimpinan di Kesultanan Banjar. Seperti terlihat setelah kepemimpinan Hidayatullah, muncul sosok Antasari sebagai pemimpin Banjar yang kharismatik dan juga menjadi pusat kesetiaan rakyat Banjar yang terutama anti Belanda. Hingga akhir hayatnya yang wafat dikarenakan cacar yang menyerang tubuhnya pada 1862.
Perlawanan Banjar terus berlanjut sampai keturunan-keturunan selanjutnya. Hingga akhirnya Sultan Muhammad Seman pada 1905 gugur karena terbunuh hingga harus mengakhiri garis keturunan Kesultanan Banjar. Hal tersebut juga mengakhiri perlawanan rakyat Banjar terhadap Belanda.
Perang Bali
Perang Bali dilatar belakangi oleh banyaknya kapal dari Belanda yang memuat banyak barang dagangan yang terdampar di salah satu pantai di kerajaan Bali dan muatan dalam kapal tersebut dirampas oleh kerajaan tersebut. Sudah berulang kali Belanda mengajukan protes dan mengadakan perjanjian tentang hal tersebut, namun raja-raja di Bali sama sekali tidak mengindahkan hal tersebut. Raja-raja di Bali masih menerapkan hukum tawan karang yang merupakan hak kerajaan Bali dimana raja akan merampas kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya.Belanda melakukan serangan pertama pada 1836 namun menemui kegagalan dan dilakukan perundingan untuk melakukan serangan kembali. Belanda mengirimkan pasukan militernya pada 1846 ke daerah Buleleng dan terjadilah pertempuran Kerajaan Buleleng yang dibantu Karangasem melawan pasukan Belanda. Bali dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dengan membangun Benteng Jagakarsa untuk menahan serangan Belanda. Belanda yang terus menyerang Benteng Jagakarsa pada 1849, membuat pasukan Bali tertekan, karena kalah dalam persenjataan, maka pasukan Bali dipaksa untuk mundur sehingga benteng tersebut dikuasai Belanda. Perlawanan terhadap Belanda semakin lemah di akhir abad ke-19 yang membuat sebagian Kerajaan Bali dikuasai oleh Belanda.
Perang Bali dengan Belanda kembali berkobar pada 1904 dikarenakan Kerajaan Badung merampas kapal dagang Cina yang terdampar, alhasil Belanda berhasil merebut kota Denpasar. Akhirnya para raja-raja Bali melakukan puputan yaitu perang habis-habisan yang diikuti para saudara dan bangsawan bersenjatakan tombak dan keris melawan Belanda. Mereka memilih gugur di pertempuran daripada harus menyerah kepada Belanda.